‘Bertamu’ dan ‘Membuka Pintu’

Lama tak menulis, akhirnya saya menulis curhat lagi. Hehe..

Tetiba saya jadi teringat tentang kisah sebuah ruang yang pernah saya tuliskan juga di blog ini. Saya juga menjadi teringat tentang perkara ‘bertamu’ & ‘membuka pintu’ yang berkaitan dengan dunia saya sendiri. Dan tulisan ini saya buat untuk menghindari kesalahpahaman dari hal-hal yang tidak diinginkan. Baik bagi yang merasa rumahnya ‘seolah’ saya datangi, atau bagi yang merasa sudah sabar menunggu di depan pintu rumah saya. ๐Ÿ˜€

Perkara bertamu, memanglah perlu suatu aturan tertentu. Mungkin, bagi sebagian orang, ‘bertamu’ itu mudah saja. Apalagi ‘membukakan pintu’ bagi yang datang bertamu. Namun bagi saya, rasanya memanglah tak mudah. Paling tidak, untuk saat ini, saya memutuskan tak akan ‘bertamu’ ke ‘rumah’ orang lain. Apalagi rela menunggu di depan pintunya dan berharap bahwa pintunya akan terbuka dan menerima saya masuk. Tidak.

Saat ini, saya juga memutuskan tak akan dengan mudahnya ‘membukakan pintu’ bagi yang datang ke ‘rumah’ saya. Saya akan memberanikan diri memutuskan ‘membukakan pintu’ apabila ‘tamu’ itu telah saya yakini memanglah ia benar-benar memiliki kesungguhan untuk memasuki rumah saya dan ingin tinggal di dalamnya, bukannya hanya ingin melihat-lihat/singgah sebentar.

Mengapa?

  • Karena ‘membukakan pintu’ bagi sesiapapun yang datang itu cukup melelahkan. Meski mereka telah mengetuk pintu minta dibukakan, meski mereka berdiam lama menunggu di depan pintu, toh pada akhirnya setelah pintu dibuka, mereka melongok sebentar dan pergi mencari rumah lain. Padahal untuk membuka pintu, decit geseran daun pintunya itu sudah sakit sekali rasanya. Ah.. Apalagi ‘bertamu’. Alamak! Mengetuk pintu rumah orang lain dan tak kunjung dibukakan itu memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan lagi adalah saat si empunya rumah sudah mengundang kita untuk bertamu ke rumahnya, membukakan pintu saat kita datang, dan mempersilakan masuk, namun tetiba saja ia minta kita keluar dan menutup pintunya. Entah karena ia mau meditasi atau akan ada tamu berikutnya yang datang. Yang jelas, rasanya jelas tak menyenangkan.
  • Meski menjaga pintu tetap terkunci itu tak mudah, namun saya ingin benar-benar menjaga rumah saya tetap bersih. Saya tak mau sembarangan orang masuk, berseliweran tak jelas arah dalam rumah saya. Selama pintunya terkunci, saya akan mengusahakan memperbaiki & memperindah kondisi rumah saya terlebih dahulu. Saya mau rumah saya istimewa, bersih & terawat, khusus untuk tamu istimewa saya kelak.

 

Oleh karenanya, kini saya memutuskan, bahwa:

1. Saya tak akan ‘membukakan pintu’ apabila ada yang datang, sebelum saya yakin benar bahwa ia sungguh-sungguh berkeinginan untuk tinggal dalam rumah saya.
Lantas bagaimana caranya saya bisa yakin benar bila ia bersungguh-sungguh? Bisa jadi ia rela mengetuk pintu saya berkali-kali & menunggu saya membukakan pintu. Namun saya akan lebih yakin lagi bila ia mengutarakan niatnya bahwa ia benar-benar ingin tinggal dalam rumah saya. Dengan begitu, barulah saya bersedia membuka pintu, dan mempersilakannya masuk. Setelah masuk, saya tak akan menguncinya dalam rumah saya. Saya akan mempersilakannya untuk melihat-lihat situasinya terlebih dahulu. Apabila yang bersangkutan merasa nyaman & sesuai, silakan melanjutkan. Bila tidak, pintu saya juga masih terbuka bila ia ingin pergi. Ya, saya hanya akan membukakan pintu rumah saya bagi yang benar-benar berniat. Yang hanya ingin main-main, silakan pergi saja dan tak perlu repot-repot/susah-susah datang berkunjung.

2. Saya tak akan berinisiatif memulai ‘bertamu’ ke rumah orang lain.
Saya hanya akan membukakan pintu bagi orang lain yang datang dengan kondisi seperti butir 1 di atas, atau saya akan memberanikan diri bertamu ke rumah orang lain bila memang ia telah meminta saya datang ke rumahnya, membukakan pintunya terlebih dahulu untuk saya, mempersilakan saya masuk, dan meminta saya tinggal di dalamnya, dan saya sudah yakin benar bahwa ia bersungguh-sungguh dengan keinginan & undangannya tersebut.

Lantas, bagaimana bila ada yang datang, menunggu di depan pintu, dan hanya mengetuk sesekali?
Sepertinya pintu saya tak akan begitu mudahnya terbuka apalagi dengan lebarnya dengan cara yang demikian. Bila hanya menunggu di depan pintu, mana saya tau bahwa yang bersangkutan ada di sana? Atau, kalaupun akhirnya saya tau, bila ia hanya menunggu tanpa mengetuk, mana saya tau bahwa ia ingin bertamu? Bisa jadi ia hanya ingin berteduh di sana. Toh saya tak perlu repot-repot buka pintu. Atau, bila ia hanya mengetuk sesekali, mana saya tau ia benar-benar ingin masuk? Bisa jadi, saat saya mengintip sebentar, ia hilang. Toh ketukannya cuma sesekali. Lagipula, pelumas pada engsel pintu saya sepertinya sudah kering, jadi kasihan juga kalau sering-sering membukakan pintu bagi orang yang hanya ingin singgah di teras, atau hanya ingin main petak umpet. Hehe

Bila memanglah benar berkenan ingin tinggal dalam rumah saya, maka bagi saya, sang tamu tak cukup hanya dengan menunggu di depan pintu. ia perlu mengetuk pintu & menyampaikan niatnya untuk tinggal dalam rumah saya. Dan setelahnya, semogalah pintu saya dapat terbuka, meski bunyi decitnya mungkin masih memekakkan telinga, saking beratnya. ๐Ÿ™‚

Demikianlah, pernyataan random saya. Kurang dan lebihnya mohon dimaklumi dan dimaafkan. Sekian.

Salam,
Galuh Nindya

8 comments

  1. suka dengan pilihan kata ‘bertamu’; ‘membukakan pintu’; decit geseran pintu yang menyakitkan,, keep writing ๐Ÿ™‚

    Like

  2. Aah..senang sekali blogwalking dan menemukan blog ini. Suka sekali baca bertamu dan membuka pintu ini ๐Ÿ™‚ Selalu pingin bisa membuat tulisan yang memiliki makna kias ataupun analogi-analogi seperti ini \o/

    Like

    1. Alhamdulillah, terima kasiiih Mb. Elfira.. Saya juga ikut senang kl ada yg paham dg analogi yg saya sampaikan. Terus terang, ga semuanya bisa paham & enjoy soalnya. Hehe..
      Salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya ๐Ÿ™‚

      Like

Leave a comment